Friday, April 29, 2011

Mengubah Sampah Menjadi Kompos

Mengubah Sampah Menjadi Kompos
AGAR sampah bisa dijadikan sebagai bahan baku kompos, langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan pemilahan sampah sesuai jenis. Saat ini memang masih terasa sulit memilah-milah sampah. Namun, bila sejak awal sudah dibiasakan, pemilahan akan lebih mudah dilakukan. Pemilahan sebaiknya sudah dilaksanakan sejak tingkat rumah tangga, pasar, atau komunitas lain. Sampah organik dipisah dari sampah non-organik. Caranya, dengan menempatkan masing-masing jenis ke dalam kantong plastik yang berbeda warna. Misalnya kantong plastik bening untuk sampah organik, kantong plastik putih untuk sampah kertas/karton, dan kantong warna hitam untuk jenis sampah lainnya.
Sampah hasil pemilahan lalu dikirim ke titik RT (first line point). Selanjutnya, oleh petugas yang dibiayai oleh masyarakat, sampah itu dibawa ke titik pengumpulan RW (second line point). Dari situ dibawa ke tingkat kelurahan (third line point), untuk kemudian diangkut ke pabrik kompos. Sedangkan sampah nonorganik seperti besi dikirim ke pedagang besi tua, sampah plastik ke pabrik plastik daur ulang, sampah kertas/karton ke pabrik kertas/karton daur ulang. Demikian pula dengan sampah berupa kaca.
Di pabrik kompos, sampah organik langsung dicacah menjadi halus. Setelah itu, dibawa ke lokasi pembuatan kompos yang letaknya di tempat yang sama. Para pemulung yang jumlahnya begitu banyak dapat dilibatkan dalam pembuatan kompos ini. Proses pembuatan kompos ini sangat sederhana sehingga mereka jika dilatih akan menguasainya dengan cepat. Jika proses ini dapat diselesaikan dalam waktu sehari selesai (one day finish), bau busuk akan hilang dengan sendirinya.
Sampah organik dapat dibuat menjadi kompos hanya dalam waktu dua minggu, sisanya memerlukan waktu lebih lama. Sisanya, sebanyak 15-20 persen sampah organik yang tak terurai akan dibakar dan arangnya bisa dimanfaatkan untuk menaikkan pH tanah dan mengikat unsur logam berat yang beracun.
Kebutuhan lahan
Lahan yang diperlukan sekira 1 m2 per 2 m3 sampah dikalikan potensi jumlah sampah yang ada dan waktu yang diperlukan untuk mengolah sampah. Misalnya, produksi sampah mencapai 150.000 ton/bulan, lahan yang dibutuhkan mencapai 15 ha. Lahan tersebut bisa dibagi menjadi 3-4 lokasi agar jarak tempuh kendaraan pengangkut tidak terlalu jauh. Setiap pekerja dapat membuat kompos sekira 1 ton/hari. Jika tiap kg kompos “dibeli” dengan harga Rp 25,00/kg, mereka akan mendapatkan penghasilan Rp 25.000,00 hari. Sampah organik sebanyak 2.000 ton setelah diolah dan disaring akan menjadi 1000-1200 ton saja atau dengan angka konversi 50-60 persen. Sisanya menguap.
Biaya pembuatan kompos sekira Rp 75,00 – Rp 100,00/kg, termasuk biaya pembelian mikroba pelapuk bahan organik sebesar Rp 6.000,00 – Rp 33.000,00/ton sampah. Jika harga jualnya sekira Rp 200,00/kg maka kompos ini akan laris terjual. Saat ini harga kompos di pabrik sekira Rp 350,00 – Rp 1.50,00/kg, umumnya hanya terserap oleh tanaman hias dan beberapa jenis tanaman hortikultura dan pangan. Kompos sangat dibutuhkan untuk lahan pertanian karena fungsinya yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Kesuburan kimia dan fisik tanah akan bertambah dan selanjutnya akan meningkatkan produksi tanaman. Di bidang perikanan, misalnya tambak umur pemeliharaan ikan dapat dipersingkat. Areal bekas pertambangan akan sangat baik jika diberi kompos, lahan yang sudah rusak dapat ditanami kembali.
Kandungan hara
Kompos yang baik mengandung unsur hara makro Niotrogen > 1,5 % , P2o5 (Phosphat) > 1 % dan K20 (Kalium ) > 1,5 %, disamping unsur mikro lainnya. C/N ratio antara 15-20 , diatas atau dibawah itu kurang baik. Untuk kepentingan bisnis, pupuk kompos yang dihasilkan harus mempunyai kualitas yang ajek dan supply yang berkesinambungan.
Pupuk kompos untuk tanaman organik, jika unsur haranya kurang dapat ditambah dengan bahan organik lainnya. Nitrogen dapat ditambahkan urine ternak, mikroba pengikat Nitrogen, pupuk organik yang berasal dari hewani seperti ikan, darah, dll. Phosphat dapat ditambahkan dari pupuk guano atau rock phosphat, dapat juga dicampurkan dengan mikroba pelepas phosphat. Kalium dapat ditambahkan dari arang/abu batok kelapa/kelapa sawit, abu bekas incenerator, dll.
Pupuk kompos yang tidak diperuntukkan bagi tanaman organik, selain dari campuran di atas dapat pula diberikan campuran dengan pupuk buatan. Jadi, pupuk seperti ini hanya dipergunakan untuk tanaman nonorganik. Karena bahan baku sampah tidak tetap, diperlukan campuran dengan bahan lain agar kualitasnya terjaga. Quality control harus diterapkan di sini, sehingga orang yang membeli benar-benar puas.
Jenis kompos
Produksi kompos dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok. Pertama, kompos murni. Pupuk ini ditujukan untuk lahan tanaman organik, namun juga dapat digunakan untuk lahan pertanian nonorganik. Kedua, kompos plus mikroba (pengikat N dan pelepas P). Pupuk yang telah diperkaya ini juga diperuntukkan untuk lahan pertanian organik, namun juga dapat digunakan untuk lahan pertanian nonorganik (biasa). Ketiga, kompos plus pupuk buatan. Pupuk ini hanya dapat digunakan untuk lahan pertanian nonorganik
Pada dasarnya kompos dapat meningkatkan kesuburan kimia dan fiisik tanah yang selanjutnya akan meningkatkan produksi tanaman. Pada tanaman hortikultura (buah-buahan, tanaman hias, dan sayuran) atau tanaman yang sifatnya perishable ini hampir tidak mungkin ditanam tanpa kompos. Demikian juga di bidang perkebunan, penggunaan kompos terbukti dapat meningkatkan produksi tanaman. Di bidang kehutanan, tanaman akan tumbuh lebih baik dengan kompos. Sementara itu, pada perikanan, umur pemeliharaan ikan berkurang dan pada tambak, umur pemeliharaan 7 bulan menjadi 5-6 bulan.
Selain itu, kompos membuat rasa buah-buahan dan sayuran lebih enak, lebih harum dan lebih masif. Hal inilah yang mendorong perkembangan tanaman organik, selain lebih sehat dan aman karena tidak menggunakan pestisida dan pupuk kimia rasanya lebih baik, lebih getas, dan harum. Penggunaan kompos sebagai pupuk organik saja akan menghasilkan produktivitas yang terbatas. Penggunaan pupuk buatan saja (urea, SP, MOP, NPK) juga akan memberikan produktivitas yang terbatas. Namun, jika keduanya digunakan saling melengkapi, akan terjadi sinergi positif. Produktivitas jauh lebih tinggi dari pada penggunaan jenis pupuk tersebut secara masing-masing.
Selain itu, air lindi yang dianggap mencemarkan sumur di lingkungan TPA dapat dijadikan pupuk cair atau diolah terlebih dahulu sebelum dialirkan ke saluran umum. Keuntungan lainnya dengan dihilangkannya TPA (tempat pembuangan akhir) dan diganti dengan TPK (tempat pengolahan kompos) alias pabrik kompos, lahan untuk sampah ini tidak berpindah-pindah, cukup satu tempat untuk kegiatan yang berkesinambungan.
Dengan demikian, pembuatan kompos dari sampah organik perkotaan akan sangat menguntungkan. Pemkot pun bisa mendapatkan penghasilan tambahan. Jika dalam sehari ada 5.000 ton sampah, dalam sehari tersedia 3.500 ton sampah organik yang siap dikonversi menjadi kompos. Dengan asumsi 1 kg sampah organik bisa menghasilkan 0,6 kg kompos, dalam sehari bisa dihasilkan 2.100 ton kompos. Dalam sebulan tersedia 63.000 ton kompos. Jika tiap kg kompos dijual dengan harga Rp 200,00, gross income per bulannya mencapai 12,6 miliar dan net income Rp 6,3 miliar. Lumayan besar. Jadi, kenapa tidak coba dimulai mendirikan pabrik kompos.***
http://bumiganesa.com/?p=85 2011 April 9

[agromania] Kompos Granul
eka budhi sulistyoWed, 22 Apr 2009 01:56:15 -0700SERBA SERBI PUPUK GRANULE ada yang punya info lebih lengkap??? Saat ini, diseluruh wilayah Jawa, euphoria prosessing pupuk organic granule sedang merajalela … informasi yang saya dapat (kalo ada yang lebih akurat) mencapai 300.000 ton, artinya diperlukan sumber daya yang sangat luar biasa. Coba kita berhitung :300.000.000 kg granule dibuat dari :60% kompos (bukan kotoran ternak yang Cuma dikeringkan lho), nilainya = 180.000.000kg40% filler (terdiri antara lain, zeolit, kalsit, ada juga rock phosphate) = 120.000.000 kg Bila itu adalah kompos, maka kotoran ternak segarnya = 180.000.000kg x (100/60%) = 300.000.000kgDibagi 10 bulan, maka diperlukan 30.000.000kg kotoran ternak murni, kalau dibagi dengan 20 kg kotoran yang dihasilkan ternak sapi sehari, maka diperlukan 1.500.000 ekor ternak sapi atau 500.000 ekor ternak sapi perhari yang kotorannya ditampung … ada gak ya? Mungkin saja ada Tapi ada satu hal yang mengusik saya bahwa ini boleh jadi sebuah hal yang akan menyesatkan pertanian organic Indonesia yang akan menuju GO ORGANIK 2010. Betapa tidak, tataniaga bisnis granul ini sangat memilukan. Yang saya ketahui, kotoran ternak murni dibeli dengan harga Rp. 180 – 225/kg dengan lokasi pengiriman rata” 20 km. konon katanya kotoran ini akan diolah menjadi kompos dengan waktu dekomposisi selama 7 hari … sangat omong kosong waktu sesingkat itu mampu membuat kompos dengan C/N ratio 12 – 16, tidak berbau, remah …. Tetapi hal itu terlaksana !!! Gara”nya hanya masalah rantai granul yang masing” jalur ingin mendapat selisih yang sangat besar … padahal bila yang diproses benar” kompos/pupuk organic, nilai yang diperoleh untuk medapatkan kompos matang lebih murah. Perhitungannya, harga kompos Rp 500/kg – penggunaan 60% = Rp. 300/kg bahan bakuBiaya granul dan filler Rp.100/kg – maka harga kompos granule yang ideal sekitar Rp. 400/kg, ditambah packing – transportasi … maka maksimal harga granul yang berbahan dasar pupuk organic murni (bukan modifikasi) maksimal Rp. 800/kgKonon kabarnya pemerintah mengeluakan biaya sampai 1.250 – 1.500/kgMenilik permainan yang dilakukan para pelaksana granule yang ingin memperoleh keuntungan berlipat, maka ada baiknya Departemen Pertanian RI mengeluarkan ketentuan pembelian bahan baku dari peternak dengan harga kompos Rp. 500/kg .. dengan harga ini maka peternak akan mendaatkan income dari hasil samping usaha ternak, produsen granule akan mendapat bahan baku berkualitas, pemerintah akan menjamin supply pupuk organic yang bagus serta petani pengguna yang akan memperoleh produk berkualitas demi produktifitas tinggi Sebuah pandangan saya yang meliat fenomena granulasi pupuk kandang … mungkin ada klarifikasi atau pembetulan atas analisa saya … Karena saya ingin pertanian ini maju, bukan jadi lahan bagi oknum perusak Negara Best regards, ekabees-----------------------------------------------------CARA PASTI Mendaftar di Agromania Business Club (ABC)(1) Buka: http://www.formulirabc.co.cc(2) Isi data Anda dengan lengkap dan benar(3) Tekan tombol Submit Form. Tunggu sebentar(4) Klik Continue. Data Anda akan langsung masuk(5) Segera lakukan Pembayaran Iuran dan Infokanmelalui SMS ke: 0 8 1 1 1 8 5 9 2 9 (SMS Only)(6) Data keanggotaan Anda akan langsung diproses.-----------------------------------------------------
http://www.mail-archive.com/agromania@yahoogroups.com/msg31084.html

[Ar-Royyan-5679] Sampah menjadi Kompos / Pupuk Cair
agus rasidiMon, 22 Jan 2007 23:49:59 -0800
Mengubah Sampah Menjadi Kompos
AGAR sampah bisa dijadikan sebagai bahan baku kompos, langkah pertama yang
harus dilakukan adalah melakukan pemilahan sampah sesuai jenis. Saat ini memang
masih terasa sulit memilah-milah sampah. Namun, bila sejak awal sudah
dibiasakan, pemilahan akan lebih mudah dilakukan. Pemilahan sebaiknya sudah
dilaksanakan sejak tingkat rumah tangga, pasar, atau komunitas lain. Sampah
organik dipisah dari sampah non-organik. Caranya, dengan menempatkan
masing-masing jenis ke dalam kantong plastik yang berbeda warna. Misalnya
kantong plastik bening untuk sampah organik, kantong plastik putih untuk sampah
kertas/karton, dan kantong warna hitam untuk jenis sampah lainnya.

Sampah hasil pemilahan lalu dikirim ke titik RT (first line point).
Selanjutnya, oleh petugas yang dibiayai oleh masyarakat, sampah itu dibawa ke
titik pengumpulan RW (second line point). Dari situ dibawa ke tingkat kelurahan
(third line point), untuk kemudian diangkut ke pabrik kompos. Sedangkan sampah
nonorganik seperti besi dikirim ke pedagang besi tua, sampah plastik ke pabrik
plastik daur ulang, sampah kertas/karton ke pabrik kertas/karton daur ulang.
Demikian pula dengan sampah berupa kaca.

Di pabrik kompos, sampah organik langsung dicacah menjadi halus. Setelah itu,
dibawa ke lokasi pembuatan kompos yang letaknya di tempat yang sama. Para
pemulung yang jumlahnya begitu banyak dapat dilibatkan dalam pembuatan kompos
ini. Proses pembuatan kompos ini sangat sederhana sehingga mereka jika dilatih
akan menguasainya dengan cepat. Jika proses ini dapat diselesaikan dalam waktu
sehari selesai (one day finish), bau busuk akan hilang dengan sendirinya.

Sampah organik dapat dibuat menjadi kompos hanya dalam waktu dua minggu,
sisanya memerlukan waktu lebih lama. Sisanya, sebanyak 15-20 persen sampah
organik yang tak terurai akan dibakar dan arangnya bisa dimanfaatkan untuk
menaikkan pH tanah dan mengikat unsur logam berat yang beracun.



Kebutuhan lahan

Lahan yang diperlukan sekira 1 m2 per 2 m3 sampah dikalikan potensi jumlah
sampah yang ada dan waktu yang diperlukan untuk mengolah sampah. Misalnya,
produksi sampah mencapai 150.000 ton/bulan, lahan yang dibutuhkan mencapai 15
ha. Lahan tersebut bisa dibagi menjadi 3-4 lokasi agar jarak tempuh kendaraan
pengangkut tidak terlalu jauh. Setiap pekerja dapat membuat kompos sekira 1
ton/hari. Jika tiap kg kompos "dibeli" dengan harga Rp 25,00/kg, mereka akan
mendapatkan penghasilan Rp 25.000,00 hari. Sampah organik sebanyak 2.000 ton
setelah diolah dan disaring akan menjadi 1000-1200 ton saja atau dengan angka
konversi 50-60 persen. Sisanya menguap.

Biaya pembuatan kompos sekira Rp 75,00 - Rp 100,00/kg, termasuk biaya pembelian
mikroba pelapuk bahan organik sebesar Rp 6.000,00 - Rp 33.000,00/ton sampah.
Jika harga jualnya sekira Rp 200,00/kg maka kompos ini akan laris terjual. Saat
ini harga kompos di pabrik sekira Rp 350,00 - Rp 1.50,00/kg, umumnya hanya
terserap oleh tanaman hias dan beberapa jenis tanaman hortikultura dan pangan.
Kompos sangat dibutuhkan untuk lahan pertanian karena fungsinya yang dapat
meningkatkan kesuburan tanah. Kesuburan kimia dan fisik tanah akan bertambah
dan selanjutnya akan meningkatkan produksi tanaman. Di bidang perikanan,
misalnya tambak umur pemeliharaan ikan dapat dipersingkat. Areal bekas
pertambangan akan sangat baik jika diberi kompos, lahan yang sudah rusak dapat
ditanami kembali.

Kandungan hara

Kompos yang baik mengandung unsur hara makro Niotrogen > 1,5 % , P2o5
(Phosphat) > 1 % dan K20 (Kalium ) > 1,5 %, disamping unsur mikro lainnya. C/N
ratio antara 15-20 , diatas atau dibawah itu kurang baik. Untuk kepentingan
bisnis, pupuk kompos yang dihasilkan harus mempunyai kualitas yang ajek dan
supply yang berkesinambungan.

Pupuk kompos untuk tanaman organik, jika unsur haranya kurang dapat ditambah
dengan bahan organik lainnya. Nitrogen dapat ditambahkan urine ternak, mikroba
pengikat Nitrogen, pupuk organik yang berasal dari hewani seperti ikan, darah,
dll. Phosphat dapat ditambahkan dari pupuk guano atau rock phosphat, dapat juga
dicampurkan dengan mikroba pelepas phosphat. Kalium dapat ditambahkan dari
arang/abu batok kelapa/kelapa sawit, abu bekas incenerator, dll.

Pupuk kompos yang tidak diperuntukkan bagi tanaman organik, selain dari
campuran di atas dapat pula diberikan campuran dengan pupuk buatan. Jadi, pupuk
seperti ini hanya dipergunakan untuk tanaman nonorganik. Karena bahan baku
sampah tidak tetap, diperlukan campuran dengan bahan lain agar kualitasnya
terjaga. Quality control harus diterapkan di sini, sehingga orang yang membeli
benar-benar puas.

Jenis kompos

Produksi kompos dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok. Pertama, kompos murni.
Pupuk ini ditujukan untuk lahan tanaman organik, namun juga dapat digunakan
untuk lahan pertanian nonorganik. Kedua, kompos plus mikroba (pengikat N dan
pelepas P). Pupuk yang telah diperkaya ini juga diperuntukkan untuk lahan
pertanian organik, namun juga dapat digunakan untuk lahan pertanian nonorganik
(biasa). Ketiga, kompos plus pupuk buatan. Pupuk ini hanya dapat digunakan
untuk lahan pertanian nonorganik

Pada dasarnya kompos dapat meningkatkan kesuburan kimia dan fiisik tanah yang
selanjutnya akan meningkatkan produksi tanaman. Pada tanaman hortikultura
(buah-buahan, tanaman hias, dan sayuran) atau tanaman yang sifatnya perishable
ini hampir tidak mungkin ditanam tanpa kompos. Demikian juga di bidang
perkebunan, penggunaan kompos terbukti dapat meningkatkan produksi tanaman. Di
bidang kehutanan, tanaman akan tumbuh lebih baik dengan kompos. Sementara itu,
pada perikanan, umur pemeliharaan ikan berkurang dan pada tambak, umur
pemeliharaan 7 bulan menjadi 5-6 bulan.

Selain itu, kompos membuat rasa buah-buahan dan sayuran lebih enak, lebih harum
dan lebih masif. Hal inilah yang mendorong perkembangan tanaman organik, selain
lebih sehat dan aman karena tidak menggunakan pestisida dan pupuk kimia rasanya
lebih baik, lebih getas, dan harum. Penggunaan kompos sebagai pupuk organik
saja akan menghasilkan produktivitas yang terbatas. Penggunaan pupuk buatan
saja (urea, SP, MOP, NPK) juga akan memberikan produktivitas yang terbatas.
Namun, jika keduanya digunakan saling melengkapi, akan terjadi sinergi positif.
Produktivitas jauh lebih tinggi dari pada penggunaan jenis pupuk tersebut
secara masing-masing.

Selain itu, air lindi yang dianggap mencemarkan sumur di lingkungan TPA dapat
dijadikan pupuk cair atau diolah terlebih dahulu sebelum dialirkan ke saluran
umum. Keuntungan lainnya dengan dihilangkannya TPA (tempat pembuangan akhir)
dan diganti dengan TPK (tempat pengolahan kompos) alias pabrik kompos, lahan
untuk sampah ini tidak berpindah-pindah, cukup satu tempat untuk kegiatan yang
berkesinambungan.

Dengan demikian, pembuatan kompos dari sampah organik perkotaan akan sangat
menguntungkan. Pemkot pun bisa mendapatkan penghasilan tambahan. Jika dalam
sehari ada 5.000 ton sampah, dalam sehari tersedia 3.500 ton sampah organik
yang siap dikonversi menjadi kompos. Dengan asumsi 1 kg sampah organik bisa
menghasilkan 0,6 kg kompos, dalam sehari bisa dihasilkan 2.100 ton kompos.
Dalam sebulan tersedia 63.000 ton kompos. Jika tiap kg kompos dijual dengan
harga Rp 200,00, gross income per bulannya mencapai 12,6 miliar dan net income
Rp 6,3 miliar. Lumayan besar. Jadi, kenapa tidak coba dimulai mendirikan pabrik
kompos.***

Ir. Memet Hakim, MM
Instruktur Manajemen Sampah

sumber : Pikiran Rakyat Online

===============================

Membuat Pupuk Cair


Sampah tidak hanya bisa dibuat menjadi kompos atau pupuk padat. Sampah
juga bisa dibuat sebagai pupuk cair. Pupuk cair mempunyai banyak
manfaat. Selain untuk pupuk, pupuk cair juga bisa menjadi aktivator
untuk membuat kompos.


Menurut Subagiyo, warga Tegal Parang, Mampang Prapatan, Jakarta
Selatan, yang telah mempraktikkan membuat pupuk cair, pupuk cair juga
bisa disiramkan ke lubang WC agar limbah tinja di dalam septik tank
menjadi padat.


"Dua liter pupuk cair bisa menghemat penyedotan tinja. Jika biasanya
setahun sekali tinja harus disedot, bisa menjadi dua tahun sekali,"
kata Subagiyo.


Berikut cara membuat pupuk cair yang telah dipraktikkan Subagiyo:


1. Cincang sampah hijau seperti sisa sayuran, sayuran basi, dan
sebagainya.


2. Siapkan tong plastik atau tong bekas wadah cat tembok ukuran 25
kilogram (kg), lengkap dengan tutupnya. Siapkan juga kantong plastik
ukuran 60 cm x 90 cm dan beri beberapa lubang sebesar 1 cm. Lubang ini
untuk memperlancar sirkulasi air dalam tong.


3. Siapkan 1/4 kg gula merah yang sudah dilarutkan.


4. Siapkan 1/2 liter bahan EM4 untuk mempermudah proses pelarutan.


5. Siapkan 1/2 liter air bekas cucian beras.


6. Siapkan 10 liter air tanah. Untuk hasil maksimal jangan gunakan air
hujan atau air PAM.


7. Campur air bekas cucian beras, EM4, dan air gula ke dalam tong
plastik. Sementara itu cincangan sampah hijau dimasukkan ke dalam
kantong plastik yang sudah dilubangi. Setelah itu, masukkan kantong
plastik ini ke dalam tong plastik dan tambahkan air tanah.


8. Ikat kantong plastik berisi sampah hijau itu dan tutup pula tong
plastik itu dengan rapat selama tiga minggu (21 hari).


9. Setelah tiga minggu, sampah dalam tong itu tidak berbau dan
kelihatan menyusut. Angkat sampah itu hingga air tiris. Sampah dari
dalam plastik menjadi pupuk padat, sedangkan air dalam tong menjadi
pupuk cair. (ARN)


M CLARA WRESTI
Minggu, 29 Oktober 2006
Copyright © 2002 Harian KOMPAS

==============================

Sampah Bernilai Ekonomi

Ketika masyarakat bisa memandang sampah sebagai bahan baku dan bukan barang
yang tidak berharga, kegiatan ekonomi pun perlahan-lahan akan tumbuh.

Inilah yang sudah mulai dilakukan warga RW 01, 02 dan 08 Ancol Barat,
Pademangan, Jakarta Utara, seperti yang diberitakan oleh Kompas hari ini
(24/04/06), yang mengolah sampah menjadi kompos atau kertas daur ulang.

Tentu saja ada sebabnya mengapa warga mau dan bisa melakukan hal ini. Karena
ada perusahaan yang bersedia menjadi mitra warga dengan memberikan modal dan
membeli hasil pengolahan sampah itu, dalam jumlah yang cukup besar yakni
sebanyak 30 ton dengan harga Rp 750 per kilogramnya. Selain dijual ke
perusahaan mitra warga tersebut, kompos hasil olahan sampah itu juga dijual ke
pihak lainnya.

Dengan cara yang sederhana dan manual, kegiatan ini terbukti efektif mengurangi
jumlah sampah yang dibuang dari wilayah tersebut ke TPA secara signifikan dari
80 meter kubik per harinya menjadi hanya sekitar 8 meter kubik saja.

Apa yang sudah terbukti berhasil dilakukan di Jakarta ini seharusnya juga bisa
dilakukan di kota-kota besar lainnya di Indonesia, asalkan bisa diciptakan
kerjasama yang saling menguntungkan antara dunia usaha, pemerintah daerah dan
masyarakat setempat.

Perusahaan-perusahaan yang memerlukan hasil olahan sampah berupa kompos atau
kertas daur ulang bisa patungan untuk bersama-sama menyediakan modal dan
menjadi pembelinya.

Pemerintah daerah-karena mereka sudah banyak dibantu dalam menangani urusan
sampah dan pemberdayaan ekonomi masyarakat-bisa memberikan insentif pajak atau
lainnya bagi perusahaan-perusahaan yang menjadi mitra warga.

Masyarakat setempat jelas bisa memberikan tenaganya atau paling tidak ikut
membantu memisahkan sampah sejak masih berada di tempatnya masing-masing,
sehingga memudahkan proses daur ulang dan pembuangannya.

Alangkah indahnya kerjasama seperti ini! Lingkungan jadi bersih, masyarakat
jadi sehat, ekonomi jadi tumbuh, sampah pun tetap ada manfaatnya!

=============================
[Ar-Royyan-5679] Sampah menjadi Kompos / Pupuk Cair agus rasidi
http://www.mail-archive.com/jamaah@arroyyan.com/msg04428.html

MENGENAL SECARA SINGKAT GAS – GAS RUMAH KACA

MENGENAL SECARA SINGKAT GAS – GAS RUMAH KACA
Posted: Agustus 28, 2008 by admin in ilmu
0
Gas rumah kaca adalah gas-gas yang ada diatmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi dapat juga timbul akibat aktivitas manusia. Gas-gas tersebut adalah :

Uap air (H2O)
Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat proses alami seperti penguapan air dari air laut, danau dan sungai. Konsentrasi uap air berfluktuasi secara regional, dan aktifitas manusia tidak secara langsung mempengaruhi konsentrasi uap air kecuali pada skala lokal.

Dalam model iklim, meningkatnya temperatur atmosfer yang disebabkan efek rumah kaca akibat gas-gas antropogenik akan menyebabkan meningkatnya kandungan uap air di troposfer, dengan kelembaban relatif yang agak konstan. Meningkatnya konsentrasi uap air mengakibatkan meningkatnya efek rumah kaca sehingga meningkatkan temperatur dan berimplikasi semakin meningkatnya jumlah uap air di atmosfer.

Keaadan ini terus berkelanjutan sampai mencapai titik kesetimbangan. Oleh karena itu, uap air berperan sebagai umpan balik positif terhadap aksi yang dilakukan manusia yang melepaskan gas – gas rumah kaca seperti CO2.

Perubahan dalam jumlah uap air di udara juga berakibat secara tidak langsung melalui terbentuknya awan. Energi yang masuk ke bumi akan mengalami berbagai perlakuan dimana 25% energi akan dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer, 25% diserap awan, 45% diadsorpsi permukaan bumi, dan 5% lainnya akan dipantulkan kembali oleh permukaan bumi.

Energi yang diadsorpsi akan dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi infra merah oleh awan dan permukaan bumi. Namun sebagian besar infra merah yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan dan gas CO2 dan gas lainnya, untuk dikembalikan ke permukaan bumi sehingga terbentuk efek rumah kaca.

Karbondioksida (CO2)
Karbondioksida adalah gas rumah kaca yang paling besar berkontribusi terhadap pemanasan global . Konsentrasi alaminya kecil hanya sekitar 0.03 persen di atmosfer dan ini secara alamiah bisa diserap oleh tanaman dengan bantuan sinar matahari kemudian diuraikan untuk membentuk jaringan tanaman yang dikenal dengan proses fotosintesis. Bila tanaman atau hewan mati, kandungan karbon terlepas dalam bentuk karbondioksida, demikian pula membakar kayu atau bahan bakar fosil juga melepaskan karbondioksida.

Pada tahun 1750, terdapat 281 molekul karbondioksida pada satu juta molekul udara (281 ppm). Pada Januari 2007, konsentrasi karbondioksida telah mencapai 383 ppm (peningkatan 36%). Estimasi yang lebih tinggi malah memperkirakan bahwa konsentrasinya akan meningkat tiga kali lipat bila dibandingkan masa sebelum revolusi industri.

Tanah secara alami juga mengandung karbon sampai 50% dari berat keringnya bisa berupa bahan organik yang membusuk sebagian. Jika tanah ini dibalik oleh cangkul maka sejumlah karbondioksida terlepas ke atmosfer dalam bentuk karbondioksida.

Makin banyaknya pemakaian kendaraan bermotor menyebabkan pemakaian bahan bakar fosil juga bertambah hal ini bisa menyebabkan bertambahnya kadar karbon di atmosfer bumi dan ini akan membentuk semacam perisai, kemudian panas yang seharusnya keluar dari atmosfer dipantulkan kembali ke bumi yang menyebabkan suhu bumi mengalami kenaikan.

Hutan secara alamiah menyerap kadar karbon yang dilepas, tetapi apabila terjadi kerusakan hutan maka adsorpsi karbon akan terhambat. Apabila terjadi kebakaran hutan maka akumulasinya akan bertambah. Walaupun lautan dan proses alam lainnya mampu mengurangi karbon dioksida di atmsofer, aktifitas manusia yang melepaskan karbondioksida ke udara jauh lebih cepat dari kemampuan alam untuk menguranginya. Penimbunan kadar karbon akan semakin meningkat seiring bertambahnya kegiatan manusia.

Senyawa metana (CH4)
Konsentrasi metana di atmosfer saat ini berkisar 1.7 ppm, jumlah ini hampir 2.5 lebih tinggi dari 300 tahun lalu, metana diperkiraan mempunyai masa hidup 10 tahun dalam atmosfer. Metana dihasilkan ketika jenis-jenis bakteri tertentu menguraikan bahan organik pada kondisi tanpa udara. Gas ini mudah terbakar dan menghasilkan karbondioksida sebagai hasil sampingannya.

Metana buatan manusia terutama dari industri, pertanian dan pembakaran biomassa, penimbunan limbah, penambangan batubara, dan kurang lebih sepertiganya berasal dari pengeboran transmisi. Metana adalah komponen utama gas alam juga termasuk gas rumah kaca. Ia merupakan insulator yang efektif, mampu menangkap panas 20 kali lebih banyak bila dibandingkan karbondioksida.

Nitrogen oksida (NO2)
Masa hidup dari NO2 sangat panjang yaitu sekitar 150 tahun di atmosfer, oleh karena itu peningkatan emisi – emisi kecil dapat meningkatkan konsentrasi. Nitrogen oksida adalah gas insulator panas yang sangat kuat. Ia dihasilkan terutama dari pembakaran bahan bakar fosil dan oleh lahan pertanian. Nitrogen dapat menangkap panas 300 kali lebih besar dari karbondioksida. Konsentrasi gas ini telah meningkat 16% bila dibandingkan masa sebelum revolusi industri.

Chloro Fluoro Carbon (CFC)
Pemakaian CFC secara berlebihan dan berkelanjutan dalam berbagai penggunaannya seperti bahan pendingin pada AC, busa untuk insulasi, perabotan (furniture), tempat duduk di kendaraan, dry clean, pada industri elektronik makin menambah kadar pencemaran udara yang pada akhirnya menimbun di lapisan atmosfer bumi.

Pada Protokol Montreal 1987 yang dihadiri oleh 50 negara dan Vienna Convention 1988 telah menetapkan pengurangan bertahap produksi CFC berdasarkan produksi 1986, yaitu sebesar 20% tahun 1993 dan meningkat menjadi 50% tahun 1998, menurut protokol Montreal pembatasan dikenakan pada beberapa mesin pendingin yang menggunakan CFC 11, 12, 113, 114 dan CFC 115, diantara semua CFC tersebut CFC 11 yang mempunyai daya rusak terbesar karena persentase khlorinnya terbesar.

Penyelidikan bahkan membuktikan CFC juga menyumbang 15% terjadinya efek rumah kaca yang berakibat kenaikan suhu atmosfer bumi. Bahaya penggunaan CFC bagi lingkungan baru diketahui tahun 1974 dengan hipotesa penipisan lapisan ozon, CFC di lapisan stratosfer akan melepaskan khlorin karena terkena sinar matahari. Khlorin selanjutnya bereaksi dengan ozon membentuk khlorin monoksida (ClO) dan oksigen, namun ClO akan terurai lagi melepaskan khlorin, selanjutnya proses penguraian ozon ini terjadi berulang sampai lebih 10.000 kali.

Menurut penelitian, sejak diproduksinya CFC telah terjadi peningkatan emisi CFC ke atmosfer dari 100 ton pada tahun 1931 menjadi 650 ton tahun 1985, yaitu dengan laju kenaikan lima persen setahun. Untuk pendingin AC, alternatif pengganti CFC 12 adalah HFC 134a (Hidro-khloro-fluoro-carbon) dan CFC 11 dengan HCFC-123.

Saat ini kedua senyawa tersebut dalam taraf pengujian terhadap daya racun dan kehandalannya dari segi keamanan dan teknis. HCFC merupakan golongan faktor penipisan ozon (ODF) yang relatif lebih rendah dibanding dengan CFC berkisar antara CFC 11 dan 12 memiliki ODF 1. HCFC mempunyai ODF rendah karena satu atom klorin diganti dengan atom hidrogen, sehingga total berat relatif khlor berkurang. HCFC bersifat tidak stabil sehingga sebelum sampai ke lapisan ozon telah terurai lebih dahulu.

Pada tahun 2000, para ilmuwan mengidentifikasi bahan baru yang meningkat secara substansial di atmosfer. Bahan tersebut adalah trifluorometil sulfur pentafluorida. Konsentrasi gas ini di atmosfer meningkat dengan sangat cepat, walaupun masih tergolong langka di atmosfer tetapi gas ini mampu menangkap panas jauh lebih besar dari gas – gas rumah kaca yang telah dikenal sebelumnya. Hingga saat ini sumber industri penghasil gas ini masih belum teridentifikasi.

Edited by : @_pararaja
Sumber:http://smk3ae.wordpress.com/2008/08/28/mengenal-secara-singkat-gas-%E2%80%93-gas-rumah-kaca/

Konsentrasi Metana antara LEL dan UEL, Dapat Menyebabkan Ledakan di TPA Sampah

Konsentrasi Metana antara LEL dan UEL, Dapat Menyebabkan Ledakan di TPA Sampah
Kompas - 29 Maret 2005
PERISTIWA meledaknya tumpukan sampah di lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah Leuwigajah pada 21 Februari 2005 dini hari yang menyebabkan puluhan orang meninggal tertimbun tumpukan sampah merupakan akibat ledakan gas yang dihasilkan dari proses dekomposisi sampah.Tingkat konsentrasi di mana gas potensial untuk meledak disebut limit ledakan (explosive limit). Potensi bagi suatu gas untuk meledak ditentukan oleh batas bawah ledakan atau disebut the Lower Explosive Limit (LEL) dan batas atas ledakan atau disebut Upper Explosive Limit (UEL).LEL dan UEL diukur dari persentase suatu gas di udara berdasarkan volume. Pada konsentrasi di bawah LEL dan di atas UEL, suatu gas tidak meledak. Jadi suatu bahaya ledakan dapat terjadi jika suatu gas berada pada konsentrasi di udara antara LEL dan UEL. Di sinilah percikan api berasal. Gas Metana meledak saat berada pada ambang antara 5 persen LEL dan 15 persen UEL dari volume udara.Metana dapat juga menjadi suatu bahan yang mudah meledak (asphyxiant) jika konsentrasinya berlebihan. Gas sampah TPA mempunyai potensi meledak oleh perpindahan dari sampah dan berakumulasi di tempat tertentu.Peristiwa di TPA Leuwigajah diperkirakan dimulai dengan turunnya hujan lebat menyebabkan lereng bukit sampah longsor mengingat kemiringannya yang curam. Adanya hujan turun juga berakibat pergerakan gas sampah TPA yang tidak dapat naik ke atas karena temperatur rendah sehingga pergerakan ke arah horizontal.Hal ini menyebabkan konsentrasi gas metana di TPA menjadi jenuh. Yang menyebabkan terjadinya ledakan gas sampah TPA karena konsentrasi gas metana yang tinggi disertai longsor yang terjadi berakibat terjadinya percampuran antara gas metana yang keluar dari timbunan sampah dan oksigen di udara sekitarnya.Untuk mengetahui lebih jauh kita perlu mengenal karakteristik dan bahaya dari gas yang dihasilkan sampah di tempat pembuangan sampah (TPA). Gas sampah TPA ini terdiri dari suatu campuran berbagai macam gas. Berdasarkan volume, gas sampah TPA terdiri dari sekitar 40 persen-60 persen gas karbon dioksida dan 45 persen-60 persen gas metana.Gas sampah TPA juga berisi sejumlah kecil persentase dari gas nitrogen, oksigen, ammonia, sulfida, hydrogen, karbon monoksida, dan senyawa organik nonmetana, (non methane organics compounds = NMOCs). Contohnya Tri Chloroethilen, Benzena, dan Vinyl-Chlorida.Gas sampah TPA dihasilkan oleh tiga proses, yaitu dekomposisi oleh bakteri, penguapan, dan reaksi kimia. Kecepatan dan volume gas sampah TPA yang dihasilkan pada suatu lokasi TPA bergantung atas komposisi, umur sampah, oksigen, kadar air, dan temperatur setempat.Konsentrasi dan pergerakan gas sampah TPA dapat berubah cepat (dalam hitungan jam) dalam merespons perubahan kondisi di atmosfer dan permukaan bumi. Tekanan atmosfer lebih tinggi dapat membuat pergerakan vertikal ke atas dari gas sampah TPA.Hujan dapat menjenuhkan butiran udara di permukaan tanah yang kemudian mengurangi/menghambat gerakan vertikal ke atas dan meningkatkan gerakan ke arah horizontal.Peristiwa ledakan gas di atas sebenarnya dapat dicegah dengan membuat saluran ventilasi gas sampah dari batu kerikil dari arah vertikal maupun horizontal di TPA tersebut. Namun, pengalaman menunjukkan jika dipakai pipa PVC sebagai saluran ventilasi, maka pipa PVC tersebut akan hilang diambil oleh para pemulung yang ada di TPA.R Julianto Mahasiswa S3 PS-PSL Sekolah Pascasarjana IPB

Friday, September 24, 2010

Pemanfaatan Biomassa Limbah Pertanian

Pemanfaatan limbah biomassa dari hasil pertanian antara lain untuk bahan bakar pemanas, untuk menjalankan mesin dan untuk menghasilkan energi listrik, serta sebagai bahan material konstruksi misal panel dan tiang dan terakhir sebagai sumber pupuk organik untuk pertanian.

Pupuk Organik:
Selama ini para petani telah banyak memanfaatkan bahan organik sebagai pupuk di
lahan pertanian, karena bahan tersebut merupakan bahan yang cepat melapuk. Salah satu
contoh bahan organik yang digunakan antara lain kotoran hewan (sapi, kambing, ayam, dll)
dan limbah pertanian. Dengan munculnya berbagai pupuk alternatif dan untuk menunjang
pembangunan pertanian yang ramah lingkungan, maka scat ini digalakan pemanfaatan
limbah pertanian sebagai bahan pembuatan pupuk organik, bahkan beberapa petani/swasta
telah mencanangkan adanya pertanian organik. Pada saat ini banyak dijumpai berbagai merk
dagang pupuk organik yang dijual dipasaran. Pupuk organik dapat berupa pupuk kandang,
kompos dan campuran keduanya. Kunci pokok dalam pemilihan pupuk kandang adalah
tingkat kematangan, perbandingan Carbon dan Nitrogen (C/N) dan kandungan unsur hara.
Pupuk kandang selain berfungsi untuk memperbaiki sifat tanah juga sebagai sumber unsur
hara walaupun dalam jumlah kecil. Dengan sifat fisik tanah yang balk, maka tanaman
menjadi lebih subur karena leluasa dalam pengambilan unsur hara. Sedangkan kelebihan
kompos yang dibuat dengan memanfaatkan aktif atau mikroba adalah mengandung mikroba
yang berfungsi untuk melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit.

Pakan Ternak:
Pembuatan ransum sederhana Membangun satu unit pabrik pakan mini, dengan peralatan mesin blander (mesin penghancur) yang telah ada. Penyusunan ransum dari limbah pertanian a. Formulasi ransum Sebagai acuan formulasi ransum yang disusun dari beberapa jenis limbah pertanian dan limbah industri yang telah diproduksi oleh CV. Prima Agroindustri dan PT. Samudera Omega Jaya Makmur Jawa Timur adalah sebagai berikut di bawah ini : Tabel. 1. Formulasi ransum yang telah disusun oleh CV. Prima Agroindustri dan PT. Samudera Omega Jaya Makmur Jawa Timur. No. Jenis Bahan (limbah pertanian) Komposisi (%) 1. Dedak 25 2. Onggok 20 3. Bungkil kopra/kelapa 29 4. Kulit kopi 5 5. Tongkol jagung 8 6. Gula merah 7,5 7. Garam dapur 0,5 8. Pakan starter/konsentrat 5 Jumlah 100 Cara membuat : -Bahan-bahan yang tercantum pada tabel di atas dicampur dan diaduk secara merata. Bisa dilakukan diatas lantai jemur atau tempat lainnya kemudian diaduk menggunakan cangkul dan sekop. -Setelah merata kemudian dicampurkan gula merah, garam dapur dan pakan starter/konsentrat atau probiotik. Diaduk lagi secara merata. -Bahan-bahan yang telah bercampur dapat disimpan dalam karung goni dan di peram selama 2 hari, disimpan pada tempat yang teduh dan kering (selama proses fermentasi)

Wednesday, August 18, 2010

villakotabunga-ade.blogspot.com

Anda ingin berlibur di kawasan puncak? kunjungi villakotabunga-ade.blogspot.com

PENILAIAN BIAYA EKSTERNALITAS BAU SAMPAH TPA BANTAR GEBANG

ABSTRAK

Penelitian ini difokuskan untuk mengetahui seberapa besar biaya ekternalitas bau sampah dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang

Gangguan lingkungan akibat bau sampah diteliti dengan penyebaran kuesioner secara sampling terhadap (tiga) kelompok yaitu: Masyarakat, Pemulung, dan Lapak. Teknik pengambilan sampel adalah berdasarkan probability sampling. Teknik probability sampling ini juga digunakan dalam penentuan lokasi sampel. Sedangkan untuk perhitungan biaya eksternalitas berupa besaran kompensasi akibat bau sampah TPA Bantar Gebang adalah menggunakan pendekatan “benefit transfer” sebagai salah satu metoda dalam valuasi ekonomi dampak lingkungan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa telah terjadi gangguan lingkungan berupa bau menyengat yang hampir setiap hari tercium sampai dengan radius 1000 meter, tergantung kondisi cuaca dan arah angin bertiup serta jangka waktu penimbunan tanah untuk penutup sampah pada lahan sanitary landfill TPA Bantar Gebang. Pada jarak 1000 meter sampai dengan 2500 meter masih tercium bau menyengat tetapi tidak setiap hari, terutama pada saat setelah hujan turun di mana gas metana bereaksi dan keluar dari timbunan sampah terbawa angin. Sedangkan pada jarak 2500 meter sampai dengan 5000 meter dari TPA Bantar Gebang, kadang-kadang masih tercium bau sampah namun tidak begitu menyengat. Nilai Sekarang (NPV) dari Eksternalitas berupa Biaya kompensasi terjadinya gangguan lingkungan sebagai dampak Bau Sampah TPA Bantar Gebang selama kurun waktu 1990 s.d 2009 adalah sebesar Rp 940.206.939.783.

Kata Kunci : Bau Sampah.

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Externalitas merupakan pengaruh yang diterima oleh beberapa pihak sebagai akibat kegiatan ekonomi, produksi, konsumsi atau pertukaran yang dilakukan oleh pihak lain. Eksternalitas merupakan pengaruh positif dan atau negatif yang diterima oleh beberapa pihak sebagai akibat kegiatan ekonomi, produksi, konsumsi atau pertukaran yang dilakukan oleh pihak pertama, dan pihak pertama gagal sepenuhnya memperhitungkan dampak kegiatan tersebut (EC, 2000). Eksternalitas dapat bersifat menguntungkan (positive externalities) atau bersifat merugikan (negative extenalities). Eksternalitas yang bersifat menguntungkan dengan keberadaan tempat pembuangan akhir sampah (TPA) Bantar Gebang adalah memberikan peluang kesempatan kerja dalam memanfaatkan sampah dan pemanfaatan sampah organik. Eksternalitas yang merugikan dengan keberadaan TPA Bantar Gebang adalah penurunan kualitas air, kualitas udara (misal kebisingan, bau, kabut debu), dan penurunan tingkat kesehatan.

Penelitian ini difokuskan untuk mengetahui seberapa besar nilai ekternalitas bau sampah dari TPA Bantar Gebang. Eksternalitas yang diteliti di sini adalah berupa kerugian yang ditanggung masyarakat sekitar TPA dari bau yang ditimbulkan operasi TPA Sampah Bantar Gebang. Masyarakat yang menghadapi dampak bau layak mendapat kompensasi dari Pihak Pencemar (Polluter) sesuai azas “polluters pays principle”.

1.2. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada penilaian biaya yang timbul karena dampak pencemaran bau sampah dengan beberapa pendekatan ekonomi, sosial dan lingkungan. Sampah yang dimaksud adalah sampah yang berasal dari Kota Jakarta, baik sampah yang dapat didaur ulang (recycable) maupun sampah yang dapat dijadikan kompos (compostable). Objek penelitian adalah lingkungan sekitar TPA Sampah Bantar Gebang, masyarakat, pemulung, dan lapak.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Untuk mengetahui Sejauh mana dampak bau sampah dari TPA Sampah Bantar Gebang.

2. Mengetahui nilai biaya eksternalitas bau sampah dari TPA Bantar Gebang.

1.4. Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Sejauh mana dampak bau sampah dari pengelolaan TPA Sampah Bantar Gebang?

2. Berapa nilai Eksternalitas bau sampah dari Pengelolaan TPA Bantar Gebang?

II. METODOLOGI

2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Bantar Gebang sebagai lokasi TPA Sampah Jakarta. Penelitian dilakukan selama 10 bulan, dimulai dari bulan Maret 2009 sampai dengan bulan Januari 2010.

2.2. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data menggunakan kombinasi 2 (dua) metode, yaitu Studi lapangan (survey) dan Studi pustaka. Studi lapangan (survey) dilakukan untuk memperoleh data primer.

Survey menggunakan teknik wawancara langsung dan Observasi (Pengamatan). Untuk wawancara digunakan instrumen berupa kuesioner semi terstruktur dan untuk keperluan observasi digunakan lembar pencataan hasil pengamatan. Studi pustaka dilakukan untuk memperoleh data sekunder, antara lain: jumlah sampah kumulatif, luas lahan TPA yang terpakai, lama waktu atau umur TPA, dan dokumen hasil penelitian dari berbagai instansi yang berhubungan dengan penelitian.

2.3. Desain Sampel

Sampel Responden diambil dari 3 (tiga) kelompok responden yaitu: Masyarakat, Pemulung, dan Lapak. Sampel diasumsikan diambil dari populasi yang relatif homogen (berdistribusi normal).

Masyarakat adalah orang yang bertempat tinggal di sekitar kawasan TPA Bantar Gebang. Jumlah sampel masyarakat yang diambil sebesar 80 responden di Kelurahan Cikiwul, Ciketing Udik dan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang serta Dusun Taman Rahayu, Kecamatan Setu Kabupaten Bekasi. Pemulung adalah orang yang bekerja sebagai pengumpul barang yang masih dapat dijual dari tumpukan sampah. Jumlah sampel pemulung yang diambil sebanyak 60 responden. Lapak adalah orang yang berperan sebagai perantara yang membeli barang bekas dari para pemulung dan menjualnya kepada bandar atau pedagang besar untuk di jual kembali kepada pabrik daur ulang. Jumlah sampel lapak yang diambil sebanyak 20 responden.

Teknik pengambilan sampel adalah berdasarkan non probability sampling. di mana tidak seluruh anggota populasi memiliki peluang yang sama untuk menjadi sampel penelitian. Teknik non probability sampling ini juga digunakan dalam penentuan lokasi sampel. Penentuan responden masyarakat dan pemulung dilakukan secara menyebar ke 4 kelurahan/desa secara proposional.

2.4. Metode Analisis

Metode yang digunakan pada awalnya adalah metoda Contingent Valuation. Namun setelah dilakukan survey pendahuluan pada masyarakat sekitar TPA Sampah Bantar Gebang, diperoleh hasil yang cukup mengecewakan karena sebagian besar responden tidak dapat memberikan pendapat. Sebagian menjawab terserah pada pemerintah saja dan sebagian lagi menjawab tidak tahu. Jawaban responden masyarakat wajar mengingat tingkat pendidikan responden rendah sebagian besar lulusan Sekolah Dasar. Oleh karena itu, metoda analisis diganti dengan pendekatan metoda “benefit transfer” sebagai salah satu metoda dalam valuasi ekonomi dampak lingkungan untuk mengetahui kewajaran besaran kompensasi akibat bau sampah dari TPA Bantar Gebang.

Analisis untuk mengetahui sejauh mana gangguan lingkungan akibat bau sampah dilakukan dengan mentabulasi jawaban responden, uji chi square utuk mengetahui adanya ketidakterkaitan/keterkaitan suatu variabel, mengkonversi ke dalam persentase, dan menampilkan dalam diagram pie.

Nilai eksternalitas sebagai kerugian dari dampak bau sampah dari TPA dihitung sebagai berikut :

Tahun ke n

= jumlah penduduk X nilai relevan

Tahun 1

Nilai ini memperhitungkan nilai waktu uang dan dinyatakan dalam Nilai bersih sekarang (NPV).

III. ANALISIS

3.1. Pendapat Responden Terkait Gangguan Bau Sampah

Dalam mengindentifikasi pendapat para responden digunakan tabulasi dengan chi square test untuk mengetahui adanya ketidakterkaitan/keterkaitan suatu variabel. Untuk memeriksa ketidakterkaitan/keterkaitan dengan membandingkan frekuensi yang teramati dengan frekuensi yang diharapkan. Jika hipotesis nol lebih kecil dari 0,05 berari tolak Ho dan terima H1. Tolak Ho dan terima H1 artinya adanya keterkaitan suatu variabel.

A. Responden Masyarakat

Jumlah responden masyarakat sebanyak 80 orang dengan tingkat usia terbanyak pada usia antara 21 s/d 30 tahun sebesar 40 %, kemudian 23,75% pada usia 31 s.d 40 tahun, dan 16,25% pada usia 41 s/d 50 tahun. Responden masyarakat berlatar belakang pendidikan tidak tamat SD 16.25%, tamat SD 52.50%, tamat SLTP 18.75%, dan tamat SLTA 12.50%. Kebanyakan responden masyarakat telah lama tinggal di sekitar TPA, dimana 83,75% telah tinggal selama lebih dari 11 tahun. Hanya 8,75% yang tinggal kurang dari 3 tahun.

Dari hasil wawancara dengan masyarakat diketahui bahwa sebanyak 82,50% merasakan adanya gangguan lingkungan dengan adanya TPA Bantar Gebang, terutama bau yang menyengat dirasakan oleh 91,25% responden. Sisanya merasakan gangguan lingkungan yang kumuh dan sumur yang tercemar, serta gangguan keamanan.

Gambar 1. Tanggapan responden masyarakat mengenai gangguan lingkungan

Gambar 2. Tanggapan responden masyarakat mengenai gangguan lingkungan

B. Responden Pemulung

Jumlah responden pemulung sebanyak 60 orang dengan latar pendidikan tidak tamat SD mencapai 52,38% dan 40% hanya tamat SD. Dari segi usia 36,51% dalam usia 21 s/d 30 tahun dan 23,81% dalam usia 31 s/d 40 tahun. Kebanyakan pemulung merupakan pendatang yang berasal dari daerah lain, 44,44% baru menetap 1 s/d 3 tahun di kawasan Bantar Gebang dan 30,16% sudah menetap selama 4 s/d 7 tahun. Sedangkan yang menetap lebih dari 8 tahun sekitar 25,40%.

Gambar 3. Tanggapan responden pemulung mengenai gangguan lingkungan

Hanya 17,46% responden yang menyatakan tidak ada gangguan lingkungan akibat TPA, selebihnya merasa terganggu. 58,75% responden merasakan bau yang menyengat, 26,25% merasa lingkungan kumuh/kotor, 11,11% sumur tercemar dan 3,76% rawan keamanan.

Gambar 4. Tanggapan responden pemulung mengenai gangguan lingkungan

C. Responden Pemilik Lapak

Jumlah responden pemilik lapak sebanyak 20 orang di mana yang berusia lebih dari 50 tahun mencapai 20%, antara 41 s/d 50 tahun mencapai 30% responden, 30% responden berumur 31 s/d 40 tahun, dan 20% responden berumur 21 s/d 30 tahun. Tingkat pendidikan responden terdiri dari 10% tamat SLTA, 15% tamat SLTP, 40% tamat SD, dan 15% tidak tamat SD. Responden pemilik lapak yang sudah lama menetap atau berusaha di sekitar TPA lebih dari 11 tahun mencapai 55%, sedangkan yang kurang dari 11 tahun mencapai 45%.

Dari hasil wawancara dengan responden pemilik lapak, sebanyak 42,11% merasakan adanya gangguan lingkungan dengan adanya TPA Bantar Gebang, terutama adanya bau yang menyengat dirasakan oleh 64,29% responden.

Gambar 5. Tanggapan responden pemilik lapak mengenai gangguan lingkungan

Gambar 6. Tanggapan responden pemilik lapak mengenai gangguan lingkungan

3.2. Nilai Ekternalitas Dampak Bau Sampah

Willis dan Garrod (1997) dalam rangka untuk memperhitungkan WTP yang berkaitan dengan pengurangan kebisingan, bau dan debu serta sampah yang tertiup angin dari landfill melakukan penelitian masyarakat di sekitar Crawcrook Quarry dan Landfill. Dari penelitian tersebut dapat dihasilkan : a) akibat debu dan sampah yang tertiup angin maka masyarakat mendapat kompensasi sebesar £0.12 s/d £ 0.19 perhari, dan b) akibat bau yang sampai tercium ke perumahan maka masyarakat mendapat kompensasi sebesar £ 0.12 s/d £ 0.19 per hari. Apabila dikonversikan ke Indonesia menggunakan pendekatan keseimbangan kemampuan berbelanja adalah:

Dengan menggunakan data PPP GNI Inggris tahun 1977 sebesar 21,822.00, PPP GNI Indonesia tahun 1977 sebesar 2,746.00, dan CPI Indonesia tahun 1977 sebesar 8,51% dan CPI Indonesia tahun 2008 sebesar 113,86%. Untuk Nilai WTP sebesar £ 0,12 menjadi WTP Indonesia = £ 0,12 x 21822/2746 = £ 0,0156 dengan menggunakan kurs 1 GBP = Rp 4846.78 maka nilai WTP menjadi sebesar Rp 75,46 pada tahun 1975. Nilai WTP untuk tahun 2008 = 75,46 x 113,86/8,51 = Rp 1009,62 perorang perhari atau Rp 30.289 perbulan. Jika dalam 1 rumah tangga rata-rata terdiri 3,99 orang (BPS Kota Bekasi Tahun 2007) maka nilai kompensasi sebesar Rp 120.851 per KK per bulan atau Rp 916.713 per tahun.

Berdasarkan hasil survey, bau dirasakan hingga radius 5000 meter dari TPA Bantar Gebang. Ketajaman bau dan kontinuitasnya tergantung kondisi cuaca dan arah angin bertiup serta jangka waktu penimbunan tanah untuk penutup sampah pada lahan sanitary landfill TPA Bantar Gebang.

Pada radius 0 meter sampai 1000 meter dari TPA Bantar Gebang, bau menyengat hampir setiap hari tercium. Untuk perhitungan kompensasi bau menyengat digunakan 365 hari bau dalam satu tahun. Besarnya pengeluaran untuk kompensasi akibat dampak bau menyengat pada kawasan dengan radius 1 km dari TPA Bantar Gebang dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Pengeluaran untuk dampak bau yang menyengat pada kawasan radius 1000 m dari TPA Bantar Gebang

Tahun

Jumlah penduduk (Jiwa)

Kompensasi dampak bau menyengat per-tahun selama 365 hari (Rp)

NPV kompensasi dampak bau menyengat selama 365 hari tahun 2009 (Rp)

per-orang

Total

1990

22.384

62.000

1.387.784.283

10.953.613.360

1991

24.555

67.500

1.657.443.344

11.943.759.418

1992

26.726

72.500

1.937.621.584

12.749.051.733

1993

28.897

79.500

2.297.304.639

14.404.110.668

1994

31.068

86.000

2.671.849.070

15.261.461.215

1995

33.239

94.500

3.141.096.007

16.424.180.715

1996

35.410

102.000

3.611.841.412

17.383.668.058

1997

37.581

108.500

4.077.571.990

18.432.622.576

1998

39.752

171.000

6.797.661.667

27.668.611.746

1999

41.924

206.000

8.636.242.268

19.789.568.519

2000

44.095

213.500

9.414.198.146

21.147.162.166

2001

46.266

238.500

11.034.370.319

22.656.822.055

2002

48.437

266.000

12.884.189.435

23.505.150.757

2003

50.608

283.500

14.347.339.970

23.723.770.309

2004

52.779

301.500

15.912.868.462

25.045.136.190

2005

49.465

333.000

16.471.695.764

24.342.413.149

2006

46.150

376.500

17.375.514.085

21.926.484.124

2007

45.515

401.000

18.251.439.636

21.605.845.079

2008

47.686

442.000

21.077.172.575

23.408.307.861

2009

49.514

487.000

24.113.397.319

24.113.397.319

Jumlah

396.485.137.018

Pada jarak 1000 meter sampai dengan 2500 meter masih tercium bau menyengat tetapi tidak setiap hari, terutama pada saat setelah hujan turun dimana gas metana bereaksi dan keluar dari timbunan sampah terbawa angin. Berdasarkan data Badan Meteorologi dan Geofisika, hujan turun selama 100 hari dalam satu tahun. Untuk perhitungan kompensasi bau diperhitungkan dalam satu tahun terjadi 100 hari bau. Besarnya pengeluaran untuk kompensasi akibat dampak bau pada kawasan dengan jarak 1000 meter sampai dengan 2500 meter dari TPA Bantar Gebang dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Pengeluaran untuk dampak bau yang menyengat pada kawasan dengan jarak 1000 m sampai dengan 2500 m dari TPA Bantar Gebang

Tahun

Jumlah penduduk (Jiwa)

Kompensasi dampak bau menyengat per-tahun selama 100 hari (Rp)

NPV kompensasi dampak bau menyengat selama 100 hari Tahun 2009 (Rp)

per-orang

Total

1990

44.574

17.500

780.048.484

6.156.828.261

1991

48.898

19.000

929.055.788

6.694.900.827

1992

53.221

20.000

1.064.422.940

7.003.629.214

1993

57.545

22.000

1.265.981.662

7.937.710.851

1994

61.868

24.000

1.484.834.279

8.481.295.227

1995

66.192

26.000

1.720.980.792

8.998.674.184

1996

70.515

28.500

2.009.678.723

9.672.514.332

1997

74.839

30.000

2.245.155.507

10.149.202.559

1998

79.162

47.500

3.760.194.566

15.305.169.429

1999

83.485

57.000

4.758.671.496

10.904.285.997

2000

87.809

59.000

5.180.727.390

11.637.494.831

2001

92.132

66.000

6.080.739.244

12.485.554.050

2002

96.456

73.500

7.089.507.677

12.933.677.170

2003

100.779

78.500

7.911.179.818

13.081.380.470

2004

105.103

83.000

8.723.535.282

13.729.902.293

2005

98.503

91.500

9.012.980.799

13.319.679.130

2006

91.902

103.500

9.511.878.741

12.003.216.549

2007

90.637

110.000

9.970.081.583

11.802.468.321

2008

94.961

121.500

11.537.710.382

12.813.781.150

2009

98.601

133.500

13.163.275.767

13.163.275.767

Jumlah

218.274.640.611

Sedangkan pada jarak 2500 meter sampai dengan 5000 meter dari TPA Bantar Gebang, kadang-kadang masih tercium bau sampah namun tidak begitu menyengat. Untuk perhitungan kompensasi bau sampah TPA Bantar Gebang diperkirakan dalam satu tahun terjadi 100 hari bau dengan kompensasi 50% perorang. Hasil perhitungan kompensasi bau sampah ditunjukkan pada tabel 3.

Tabel 3. Pengeluaran untuk dampak bau yang menyengat pada kawasan dengan jarak 2500 m sampai dengan 5000 m dari TPA Bantar Gebang

Tahun

Jumlah penduduk (Jiwa)

50% kompensasi dampak bau menyengat per-tahun selama 100 hari (Rp)

NPV kompensasi dampak bau menyengat selama 100 hari Tahun 2009 (Rp)

per-orang

Total

1990

131.406

9.000

1.182.657.001

9.334.568.555

1991

144.152

10.000

1.441.520.894

10.387.793.233

1992

156.898

10.000

1.568.978.453

10.323.474.736

1993

169.644

11.000

1.866.079.614

11.700.327.778

1994

182.389

12.500

2.279.866.965

13.022.480.073

1995

195.135

13.500

2.634.324.028

13.774.368.503

1996

207.881

14.500

3.014.272.602

14.507.590.000

1997

220.627

15.000

3.309.399.376

14.960.106.111

1998

233.372

24.000

5.600.937.145

22.797.568.171

1999

246.118

28.500

7.014.366.904

16.073.112.606

2000

258.864

30.000

7.765.916.788

17.444.619.195

2001

271.610

33.500

9.098.923.237

18.682.777.424

2002

284.355

37.000

10.521.149.978

19.194.161.777

2003

297.101

39.500

11.735.495.850

19.405.005.290

2004

309.847

42.000

13.013.570.502

20.481.954.359

2005

290.389

46.000

13.357.892.153

19.740.731.875

2006

270.931

52.000

14.088.412.155

17.778.429.113

2007

267.201

55.000

14.696.078.589

17.397.049.416

2008

279.947

61.000

17.076.778.275

18.965.469.952

2009

290.680

67.000

19.475.573.985

19.475.573.985

Jumlah

325.447.162.154

Dengan demikian jumlah pengeluaran (NPV tahun 2009) untuk kompensasi atas dampak bau yang menyengat tahun 1990 sampai dengan tahun 2009 mencapai sebesar Rp 940.206.939.783 (lihat tabel 4).

Tabel 4. Jumlah pengeluaran untuk dampak bau yang menyengat dari TPA Bantar Gebang

Tahun

Jumlah Penduduk (Jiwa)

Kompensasi dampak bau menyengat per-tahun (Rp)

NPV tahun 2009 kompensasi dampak bau menyengat (Rp)

1990

198.364

3.350.489.767

26.445.010.176

1991

217.604

4.028.020.025

29.026.453.478

1992

236.845

4.571.022.977

30.076.155.682

1993

256.085

5.429.365.914

34.042.149.297

1994

275.325

6.436.550.314

36.765.236.515

1995

294.566

7.496.400.827

39.197.223.402

1996

313.806

8.635.792.738

41.563.772.390

1997

333.046

9.632.126.873

43.541.931.245

1998

352.287

16.158.793.378

65.771.349.345

1999

371.527

20.409.280.668

46.766.967.122

2000

390.767

22.360.842.324

50.229.276.192

2001

410.008

26.214.032.800

53.825.153.530

2002

429.248

30.494.847.090

55.632.989.705

2003

448.488

33.994.015.639

56.210.156.069

2004

467.729

37.649.974.246

59.256.992.842

2005

438.356

38.842.568.716

57.402.824.154

2006

408.983

40.975.804.982

51.708.129.786

2007

403.353

42.917.599.807

50.805.362.816

2008

422.594

49.691.661.232

55.187.558.964

2009

438.796

56.752.247.071

56.752.247.071

Jumlah

940.206.939.783

4. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil survey, dampak penting yang perlu diperhatikan adalah terjadinya gangguan lingkungan berupa bau yang menyengat sampai dengan radius 1000 m, bau menyengat ini hampir setiap hari tercium tergantung kondisi cuaca dan arah angin bertiup serta jangka waktu penimbunan tanah untuk penutup sampah pada lahan sanitary landfill TPA Bantar Gebang. Pada jarak 1000 m sampai dengan 2500 m masih tercium bau menyengat tetapi tidak setiap hari, terutama pada saat setelah hujan turun dimana gas metana bereaksi dan keluar dari timbunan sampah terbawa angin. Sedangkan pada jarak 2500 m sampai dengan 5000 m dari TPA Bantar Gebang, kadang-kadang masih tercium bau sampah namun tidak begitu menyengat.

Nilai Sekarang (NPV) dari Biaya Eksternalitas berupa nilai kompensasi Dampak Bau Sampah TPA Bantar Gebang selama kurun waktu 1990 s.d 2009 adalah sebesar Rp 940.206.939.783.

4.2. Saran

Pengendalian bau TPA Bantar Gebang perlu memperhatikan kesesuaian dengan prosedur baku yang telah ditetapkan. Tebal tanah penutup landfill harus sesuai ketebalannya dan lapisan landfill jangan terlalu lama didiamkan terbuka.

Pengelolaan sampah di masa yang akan datang agar memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

· Penyusunan Peraturan daerah (Perda) tentang pemilahan sampah, penetapan kawasan bebas sampah dan penetapan peringkat kebersihan bagi kawasan-kawasan umum.

· Memberikan tekanan kepada para produsen barang untuk memaksimalkan produksi yang ramah lingkungan dan bersedia menarik (membeli) kembali kemasan produk yang dijualnya.

· Peningkatan peran masyarakat dengan memfasilitasi dan pendampingan/advokasi kepada masyarakat dalam upaya meningkatkan pengelolaan sampah melalui pengelolaan sampah skala kecil, mulai dari tingkat desa/kelurahan ataupun kecamatan, termasuk dalam hal penggunaan teknologi daur ulang, komposting, dan penggunaan incenerator.

· Mendorong transformasi pola konsumsi masyarakat untuk lebih menyukai produk-produk hasil daur ulang dan yang ramah lingkungan.

· Melakukan koordinasi dengan instansi terkait di pusat maupun daerah, LSM, Perguruan Tinggi untuk pengembangan sistem pengelolaan sampah perkotaan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahadis, Mohammad Hatta. 2005. Pengaruh Tempat Pembuangan Akhir Sampah Terhadap Lingkungan Perairan di Sekitarnya : Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Anwar, Achmad Sjamsu. 2007. Model Sentra Energi Berbasis Biomassa. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Adrianto, L. 2006. Sinopsis Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Askari, dan Wijayanti. 2004. Panduan Umum Valuasi Ekonomi Dampak Lingkungan untuk Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Bapedal, Jakarta.

Barton, Allan MF. 1994. Resource Recovery and Recycling. John Wiley and Sons. New York, Toronto, Brisbane, Chichester.

Bramono, SE. 2004. Sampah Sebagai Sumber Energi: Tantangan Bagi Dunia Persampahan Indonesia, Pokja AMPL. Percik. 5. 16 – 17.

Biro Bina Kependudukan dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta, 1989. Laporan Akhir: Studi Andal Lokasi Pembuangan Akhir Sampah Bantar Gebang Bekasi, PT. Munidia Daya Konsultants.

Defra, Department for Environment, Food and Rural Affairs. 2004. Valuation Of The External Costs And Benefits To Health And Environment Of Waste Management Options, Defra, London.

Departemen Kesehatan RI. 2002. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat-syarat Pengawasan Kualitas Air Minum. Departemen Kesehatan. Jakarta.

Dinas Kebersihan DKI Jakarta. 2005. Laporan Akhir WJEMP IBRD Loan 4612- IND/IDA Credit 3519-IND Solid Waste Management for Jakarta: Master Plan Review and Program Development (TA Package No. DKI 3-11. Jakarta.

Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pemerintah Kota Bekasi. 2008. Valuasi Ekonomi Kerusakan Lingkungan Akibat Keberadaan TPA. Jakarta

Dixon, J.A. and Hufschmidth. 1986. Economic Analysis of The Enviromental Impacts of Development Project. Earthsean Publication Limited, 3 Ed. Sleight Street. London.

Djajadiningrat, ST. 2001. Untuk Generasi Masa Depan : Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Studi Tekno Ekonomi. Departemen Teknik Industri Fakultas Teknik Industri, Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.

Eugene, A.S. Corcoran, E. 1987. Contamination by Landfill Leachate South Biscayne Bay Florida. University of Miami. Miami

European Commission, DG Environment. 2005. Economic Analysis of Options for Managing Biodegradable Municipal Waste. United Kingdom.

European Commission, DG Environment. 2000. A Study on the Economic Valuation of Environmental Externalities from Landfill Disposal and Incineration of Waste. United Kingdom.

Fauzi, A. 1999. Teknik Valuasi Ekosistem Mangrove. Bahan Pelatihan Management for Mangrove Forest (Rehabilitation). Bogor.

Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Gani, Abdul. 2007. Konversi Sampah Organik Menjadi Komarasca (Kompos-Arang-Aktif-Asap Cair) dan Aplikasinya pada Tanaman Daun Dewa. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Gittinger, JP. 1982. Economic Analysis of Agricultural Project. (Edi Series in Economic Development). UI Press – John Hopkins. Jakarta.

Grigalunas, T.A and Conges, R. 1995. Environmental Economics for Integrated Coastal Area Management: Valuation Methods and Policy Instrument. UNEP Regional Seas Report and Studies. No. 164.

Hadi, Sudharto P. 2005. Aspek Sosial AMDAL : Sejarah, Teori dan Metode, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Haeruman, H. 1979. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup dalam Kerangka Strategi Pengembangan Wilayah. Bahan Kuliah FPS-IPB, Bogor.

Herawati. Et. Al. 2007. Mengatasi Sampah dengan Daur Ulang. Jurnal Khazanah Vol. 3 No. 1 71-72

Indrajaya, Denny D. 2008. Simulasi Perhitungan Replacement Cost dalam Mengkaji Kebijakan Konversi Hutan Mangrove. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol. 12/No. 2/2008. Jakarta.

Irawan. 2007. Valuasi Ekonomi Lahan Pertanian: Pendekatan Nilai Manfaat Multifungsi Lahan Sawah dan Lahan Kering. (Disertasi). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Irham. 2001. Analisis Biaya Manfaat Dalam Proyek Pembangunan Berdampak Lingkungan. in Sulistiyo.L, Whiting.P, Environmental Economics For Practitioners. Canora (Asia) Incorporated. Montreal.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Kontribusi Sampah Terhadap Pemanasan Global. Jakarta

Surat Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. KEP-03/MENKLH/II/1991 tanggal 1 Februari 1991. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta

Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 1995. Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep5I/MENLH/IO/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan Industri. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta

Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 1991. Surat Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. KEP-03/MENKLH/II/1991 tanggal 1 Februari 1991. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta

Kholil. 2005. Rekayasa Model Sistem Dinamik Pengelolaan Sampah Terpadu Berbasis Nirlimbah (Zero Waste) Studi Kasus Jakarta Selatan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo. Jakarta.

Munasinghe, M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank Environment Paper Number 3. The World Bank Washington, D.C.

Nawawi, H. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

OECD, 1992, Enviromental Data Compendium 1992, Paris, OECD.

Pandey, G.N. 1997. A Text Book on Energy System Engineering, Vikas Publishing House PVT LTD. New Delhi.

Peraturan Pemerintah RI No.20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Baku Mutu golongan B untuk Bahan Baku Air Minum, Baku Mutu golongan C Penggunaan air untuk Perikanan dan Pertanian.

Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Royadi. 2006. Analisis Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis Masyarakat (Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Saeni, M.S. 1989. Bahan Pengajaran Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Institut Pertanian Bogor.Bogor.

Sanim B, Supriyanto,H. 2006. Eksternalitas. Bahan kuliah Program Magister Manajemen Agribisnis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sanim B. 2006. Ekonomi Lingkungan . Bahan Kuliah Ekonomi Lingkungan. Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan lingkungan. IPB. Bogor.

Saraswati, Endang. 2007. Model Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus Kota Bandung). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Saribanon, Nonon. 2007. Perencanaan Sosial Partisipatif dalam Pengelolaan Sampah Permukiman Berbasis Masyarakat (Kasus di Kotamadya Jakarta Timur). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Slamet, Juli Soemirat. 1994. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada University Press. Jogjakarta.

Supardi,I. 1994. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. Penerbit Alumni. Bandung.

Suparmoko, M. Suparmoko, Maria R. 2000. Ekonomika Lingkungan (Edisi Pertama). BPPE. Yogyakarta.

Suratmo, G.F. 2002. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta’

Tchobanouglos. George, Theisen. Hilary, and Eliassen. Rolf. 1977 Solid Waste: Engineering Principles and Management Issues, Mc. Graw Hill, New York, 1977.

Turner,R.K.2000. Waste Management, in Former.H, Gabel.L (ed), Principle Environmental and Resources Economic, Edward Elgar Publishing Limited. Cheltenham.

Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentamg Pengelolaan Sampah.

Utama, Agung Yubi. 2000. Implikasi Pembangunan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Terhadap Pengembangan Ekonomi Lingkungan (Studi Kasus TPA Piyungan Bantul). Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Vasu, K. et. al. 1998. Nitrat Pollution of Groundwater round a Sewage Stabilitation Pond, Kerala India, IAEA-TECDOC-1045, 57-65.

Wardhana, W.,A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan, Penerbit Andi. Yogyakarta.